Wednesday, July 19, 2006

BRR: Bantuan asing cair US$4,6 miliar

Source: Bisnis Indonesia Edisi: 14-JUL-2006

JAKARTA: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias menyatakan bantuan internasional telah cair US$4,6 miliar dari komitmen US$7,1 yang dijanjikan.
Ke depan kegiatan rekonstruksi akan lebih banyak diarahkan untuk proyek infrastruktur yang belum pulih sepenuhnya untuk mendukung perekonomian dan kehidupan masyarakat Aceh dan Nias.
Bima Haria Wibisana, Penasihat Senior Direktur BRR, mengatakan si-sa dana yang belum cair dari jumlah total dana yang dijanjikan akan ditagih secara serius karena sudah sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan proses rekonstruksi dan rehabilitasi di daerah bencana tsunami tersebut.
"Tapi upaya penagihan ini juga sangat bergantung dari integritas dan manajerial pengelolaan dana yang telah dikucurkan. Kalau kita tetap menjaga prestasi dan konsisten untuk itu, maka akan lebih mudah untuk menagihnya," katanya saat ini peluncuran buku Laporan Satu Tahun Multi Donor Fund yang diselenggarakan perwakilan Uni Eropa di Jakarta, kemarin.
Menurut Bima, prioritas penanganan saat ini adalah perumahan dan infrastruktur yang harus dipulihkan di semua kawasan di Aceh dan Nias.
Dia memberikan contoh pembangunan drainase irigasi, jembatan, dan jalan menjadi bagian dari proyek prioritas itu dengan perkembangan 136 proyek irigasi, dan 31 drainase dalam pengerjaan.
Langka material
Dia menjelaskan masalah yang dihadapi saat ini dalam proses rekonstruksi adalah kekurangan tenaga kerja dan material dasar sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menggenjot pekerjaan rekonstruksi di daerah tersebut.
"Sejauh ini solusinya kami datangkan pekerja cukup banyak dari Lombok dan Jawa. Begitupun material didrop dari Jawa untuk memenuhi kekurangan stok di lapangan."
Sementara itu, Bank Dunia memuji kinerja BRR dalam menjalankan program rekonstruksi di Aceh dan Nias karena dianggap sukses dalam mengelola anggaran yang dipakai.
Scott Guggenheim, Sector Coordinator Social Development World Bank, mengatakan sejauh ini BRR cukup bersih dari korupsi dan tindakan penyelewengan anggaran.
"Kalau ada masalah terkait korupsi sejauh ini kontrol dari BRR cukup bisa menanganinya. Dan belum ada masalah besar soal korupsi ini," katanya dalam acara tersebut.
Di sisi lain, lembaga Multi Donor Fund (MDF) menampung dan mengelola dana bantuan US$550 juta dari 15 pendonor asing yang kebanyakan dari Uni Eropa.
MDF didirikan sejak Mei 2005 untuk menampung bantuan dari Komisi Eropa, Belanda, Inggris, Bank Dunia, Norwegia, Denmark, ADB (Asian Development Bank), Swedia, Kanada, Jerman, Amerika Serikat, Finlandia, Belgia, Selandia Baru, dan Irlandia bagi proses rehabilitasi Aceh dan Nias.
Dari US$550 juta yang telah dijanjikan, sebanyak US$392 juta sudah dialokasikan untuk empat proyek yang kini dalam proses persiapan dengan nilai US$104 juta.
Sementara dana senilai US$146 juta sudah dibayarkan untuk membiayai sejumlah proyek, di mana US$82 juta di antaranya akan dibayarkan dalam kurun waktu enam bulan.
MDF menyatakan siap bekerja sama dengan BRR untuk melanjutkan kegiatan di Aceh dan Nias dengan melaksanakan kegiatan prioritas yang diperlukan bagi pemulihan daerah tersebut.
Jean Breteche, Duta Besar dan Kepala Delegasi Komisi Eropa, mengatakan MDF berhasil membuktikan dalam setahun keberadaannya menjadi mediator yang efektif dalam menyalurkan dana secara terkoordinasi untuk mendukung kegiatan rekonstruksi di Aceh. (irsad. sati@bis nis.co.id)
Oleh Irsad

Menilik Alam dan Budaya Eksotik Pulau Nias

source: http://www.investorindonesia.com
Saturday, 15 July 2006 01:59:42 WIB

JAKARTA, investordaily
Ya’ahowu!!Ucapan salam ini langsung terdengar saat Anda mendarat di Bandar Udara Binaka, Gunung Sitoli, Nias.

Setiap hari, puluhan orang terlihat memadati Bandar Udara Binaka. Sejumlah turis asing pun tampak sibuk membenahi perlengkapan selancar mereka di sela aktivitas masyarakat lokal.

Pulau Nias yang berlokasi di sebelah barat Pulau Sumatera, sekitar 85 mil laut dari Kabupaten Tapanuli Tengah atau Kota Sibolga, menjadi surga selancar bagi para penggila surfing. Bagi penggemar ombak lautan dan peselancar, keindahan pantai Sorake dan Lagundri yang terletak di Kabupaten Nias Selatan (Nisel) menjadi tempat perburuan ketiga di dunia. Ombaknya yang lincah nan gesit, menjadi ciri khas pantai Sorake dan Lagundri. Para pelancong mancanegara telah lama menggandrungi kedua pantai itu. Meski letaknya terpencil, ternyata tidak memupuskan keinginan para peselancar professional. Mereka pun unjuk kebolehan sekaligus menguji ketangkasan di atas papan selancar.

Wilayah Pantai Sorake dan Lagundri masuk wilayah Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nisel. Meski tinggal di daerah wisata, kehidupan masyarakat setempat tidak seperti umumnya warga yang bermukim di pulau-pulau eksotik lainnya.

Dalam suatu diskusi panel bertajuk Aramba yang digelar oleh Public Information Centre (PIC) Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Perwakilan Nias di Omo Bale Museum Pusaka Nias, baru-baru ini, beberapa elemen masyarakat menyatakan, penduduk asli Nias adalah sokhi, yang berarti baik. Menurut sesepuh adat Nias, ami li moroi ba go juga sudah mendarah daging di masyarakat asli Nias. Dengan kata lain, ucapan atau sapaan lebih berharga bagi masyarakat asli Nias, ketimbang makanan yang paling enak.

Berdasarkan survei Kementerian Lingkungan Hidup pada 1987, masyarakat Nias setidaknya memiliki tujuh karaketristik khas. Ketujuh karakter itu antara lain, mereka masih percaya pada roh dan kekuatan gaib. Warga Nias lebih mengedepankan prestise daripada prestasi. Mereka sulit menerima hal baru sehingga hal-hal baru dianggap tabu. Penduduk Nias lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau solidaritas kekerabatan ketimbang kepentingan umum. Orang Nias lebih senang menerima daripada memberi. “Masyarakat Nias juga bude-bude atau kurang gemar berterus terang,” kata Melkhior Duha, ketua Badan Pemberdayaan dan Warisan Nias.

Melihat karakteristik tersebut, tak mengherankan jika situs megalitikum prasejarah masih tampak berdiri megah di Kecamatan Gomo. Situs itu diperkirakan telah berdiri lebih dari 3.000 tahun dan diyakini sebagai daerah awal mula penyebaran penduduk Pulau Nias. Perkampungan dengan rumah-rumah tradisional tampak masih utuh, asli, dan berdiri kokoh. Hal itu bisa dijumpai di Desa Bawomataluo dan Hilisimaetano. Tempat itu menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong.

Satu-satunya rumah adat paling besar di Nisel terdapat di Desa Bawomataluo. Di Omo Sebua yang memiliki ukuran luas 300 meter ini banyak terdapat benda-benda dan ornamen. Benda-benda itu antara lain genderang perang berukuran besar, alat-alat perang, kepala rusan dan monyet, ukiran-ukiran patung dan rahang babi. Yang pasti, setiap benda tersebut memiliki nilai sejarah dan telah berusia ratusan tahun. Omo Sebua yang diperkirakan berusia 160 tahun, telah dihuni oleh beberap generasi. Selain digunakan untuk pertemuan para Si Ulu (golongan bangsawan) dan Si Ila, rumah adat besar itu dipakai untuk yang meletakkan jenasah para bangsawan. Keunikan lainnya yang terdapat di Desa Bawomataluo adalah budaya tarian perang dan lompat batu.

Karena keunikan budayanya, pada 2004, World Monument Fund melalui hasil penelitian UNESCO, menetapkan Omo Hada (rumah adat) di Desa Hilinawalo Mazingo, sebagai salah satu dari 100 situs dunia yang harus dilestarikan, seperti halnya Candi Borobudur, Taman Sari di Yogyakarta, dan Tanah Lot di Bali.

Keunikan lainnya adalah adat istiadat masyarakat Nias yang harus mengonsumsi daging babi tatkala menggelar prosesi kelahiran, perkawinan, kematian ataupun mangowasa (membuat atau menobatkan gelar adat) balugu (gelar adat Nias tertinggi).

Sejak 1960-an, Kabupaten Nias yang beribukota di Gunungsitoli memang terkenal sebagai penghasil ternak babi yang sangat besar. Bahkan, hasil ternak mereka dapat dijumpai pula di Singapura. Berternak babi merupakan usaha yang sangat terkait dengan adat istiadat di Kabupaten Nias.

Usaha pertanian tanaman pangan juga merupakan mata pencarian pokok penduduk Nias. Hasil pertanian mereka antara lain produksi tanaman pangan, seperti padi, palawija, dan hortikultura. Sebagian atau seluruh hasil pertanian itu dijual atau untuk menunjang kehidupan dan menanggung risiko. Komoditas andalan Kabupaten Nias lainnya adalah nilam. Komoditas nilam sempat mengalami booming pada 1997 hingga pertengahan 2000. Saat itu, harga minyak nilam pernah mencapai Rp 1,2 juta per kilogram. Ketika itu, kesejahteraan petani nilam di Kabupaten Nias sangat tinggi.

Pulau Nias juga memiliki potensi ikan luar biasa, baik ikan untuk dikonsumsi maupun ikan hias. Terdiri atas 132 pulau besar dan kecil, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan menyimpan aneka ragam kekayaan sumber daya laut.

Terletak di sekitar garis khatulistiwa, rata-rata curah hujan di Kepulauan Nias cukup tinggi, yakni 260,00 mm per tahun. Akibat banyaknya curah hujan, kondisi alamnya pun sangat lembab dan basah. Musim hujan dan kemarau silih berganti dalam setahun.
Keadaan iklim di kepualuan Nias juga dipengaruhi oleh Samudera India. Suhu udara berkisar antara 17o / 32,6o dengan kelembaban sekitar 80 - 90% dan kecepatan angin antara 5-6 knot per jam. Musim badai laut biasanya berkisar September sampai November, tetapi kadang terjadi badai pada Agustus. Namun, cuaca bisa berubah secara mendadak.

RekonstruksiPascagempa

Pulau Nias merupakan daerah yang terletak di salah satu area aktivitas seismik terbesar di dunia. Menurut Dick Beetham, ahli geologi dan gempa bumi dari Selandia Baru yang saat ini bertugas di BRR dan UNDP Nias, sepanjang 100 kilometer di arah barat Nias tepatnya di dasar laut sepanjang Sumatera dan Jawa, merupakan batas lempeng tektonik. Daerah itu merupakan lempeng India-Australia yang tengah bersubduksi di bawah Sumatera dan Jawa dengan lokasi di tepian lempeng Eurasia.
Rata-rata gerakan relatif dari dua lempeng tektonik tersebut adalah 60 mm per tahun.

Umumnya, lempeng-lempeng tersebut terkunci. Tekanannya bisa memunculkan suatu titik. Implikasinya, lempeng penghubung akan putus secara tiba-tiba dan menimbulkan gempa bumi dashyat.

Musibah bencana alam tsunami yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember 2004 dan gempa di Nias pada 28 Maret 2006, akibat bagian terdekat dari lempeng penghubung tiba-tiba putus atau lepas.

Bencana dashyat di Pulau Nias memberikan hikmah tersendiri bagi masyarakat Nias. Mereka menjadi terbuka bagi dunia internasional. Berbagai bantuan datang silih berganti dari negara-negara donor dan lembaga swadaya masyarakat LSM). Build back better pun dilakukan oleh BRR yang menetapkan anggaran Rp 10 triliun untuk pengembangan pulau Nias. “Kami ingin membangun Nias lebih baik,” kata William Sabandar, kepala kantor perwakilan BRR Nias.

Seiring dengan derap rekonstruksi Nias, BRR juga melaksanakan proyek jalan masuk ke Pantai Sorake dan Lagundri. Bersama dengan organisasi Yayasan Peduli Pantai Sorake (YPPS) dan SurfAid, tengah diusahakan pula pembersihan dan penanaman pohon mahoni serta cemara laut di sepanjang pantai dan jalan ke Sorake.

Untuk rehabilitasi rumah adat, khususnya di Kabupaten Nias dialokasikan bagi 50 unit rumah. Demikian juga di Nias Selatan (Nisel). Anggaran setiap unit rumah adat ditetapkan sebesar Rp 20 juta dengan total anggaran senilai Rp 2 miliar. Salah satu program rehabilitasi rumah adat yang berlokasi di Nisel, juga termasuk sebuah Omo Sebua di desa Bawamataluo yang sudah menjadi salah satu situs sejarah.

BRR juga akan merevitalisasi kebudayaan Nias yang sudah lama tidak dilaksanakan, yang disebut fondrako atau musyawarah adat baik di Nias maupun Nisel. Fondrako merupakan musyawarah adat Nias tertua yang menghasilkan beberapa ketentuan dan aturan menyangkut ketenteraman dan aspek kehidupan masyarakat.

Selain rencana pelaksanaan musyawarah adat fondrako, BRR akan merealisasikan satu program pembentukan pusat studi bahasa, seni, dan adat Nias. Pembentukan pusat studi ini diharapkan mendokumentasikan hal-hal yang berhubungan dengan bahasa, seni, dan adat istiadat Nias.

Di bidang kesenian tradisional, BRR menyediakan beberapa perangkat alat musik tradisional seperti lagia, doli-doli, tutuhao, fondrabi, aramba (gong) sekaligus faritia. Aramba dan fatritia merupakan alat musik yang digunakan pada upacara adat Nias. Demi melestarikan alat musik tradisional, BRR akan mengupayakan pembinaan terhadap pengrajin lokal. Saat ini, para pengrajin alat musik aramba dan faritia hanya menggunakan bahan baku lempengan besi dengan cara memukul. Dulu, mereka membuat aramba dan faritia dengan melebur besi dan mencetaknya dalam cetakan khusus.

Pelestarian situs budaya pun tak luput dari program BRR. Untuk pelestarian situs budaya, direncanakan lokasinya di Kecamatan Gomo dan Lolowau. Sektor pariwisata di Nias dan Nisel, juga masuk dalam total angaran proyek BRR pada 2006. Di Nias direncanakan pada tiga lokasi dan Nisel satu lokasi yang akan dikembangkan, yaitu pantai Lagundri dan pantai Sorake. Nah, sudah

Nasib Durian NIAS

Source: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/18/ipt03.html

Durian Nias Bisa Jadi Tumbuhan Langka

Nias – Daging buah yang tebal dan manis merupakan ciri khas Durian Nias. Memang dari segi rasa, menurut penggemarnya, Durian Nias memiliki kekhasan tersendiri yang tiada duanya. Tapi kini musim durian di Nias tak lagi melimpah-ruah seperti dahulu. Pasca gempa bumi 28 Maret 2005, kayu pohon durian menjadi komoditi yang diburu kontraktor bangunan, membuat buah durian pun berkurang. Kalau dulu cuma berkisar Rp 200.000 per kubik, kini harga kayu pohon durian melonjak 3-4 kali lipat, bahkan lebih. Kayu pohon durian menjadi pilihan, setelah kebutuhan dan harga kayu meroket, menyusul pembangunan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Nias. Agence d’Aide a la Cooperation Technique Et au Developpment (ACTED) dari Prancis misalnya, menyandarkan kebutuhan 320 unit rumah menggunakan kayu lokal dari 520 unit rumah bantuan mereka. Dari 320 unit tadi, 80 persennya menggunakan kayu pohon durian yang telah berumur 15-20 tahun. Kalau satu unit rumah panggung membutuhkan sekitar enam kubik kayu, bisa dibayangkan berapa banyak pohon durian yang telah ditebang untuk menjadi bahan bangunan. Buletin Fatuhe di Nias melaporkan telah terjadi penebangan pohon durian hampir merata di Desa Hiliduho, Gada, Nias Tengah, Bawolato, Nias Utara dan beberapa tempat lain. Bahkan penebangan berlebihan ini sudah mengarah pada penggundulan hutan, tanpa penanaman kembali. Padahal tahun 2002 Kecamatan Gomo di Nias Selatan pernah dilanda banjir bandang gara-gara penggundulan hutan. Pembalakan LiarTentu bukan cuma kayu pohon durian yang menjadi perburuan, tapi semua jenis kayu berkualitas untuk bahan bangunan. Untuk rumah saja, tidak kurang 15.000 unit yang harus dibangun kembali di Nias. Itu belum termasuk sekolah, jembatan dan berbagai bangunan lain yang juga membutuhkan kayu untuk pembangunannya.Asisten Khusus Penasihat Perencanaan Kota Perwakilan BRR Nias, Tjokorda Nirarta Samadhi mengakui hal itu. Ia menyebutkan kebutuhan kayu di Nias saat ini tidak kurang dari 14.800 kubik. “BRR akan mencoba mendapatkan kayu well treated dari Kanada. Mereka cuma membutuhkan waktu dua minggu untuk memotong dan sekitar dua bulan untuk pengapalan,” kata Nirarta ketika menerima wartawan dari Jakarta di kantor BRR, Gunung Sitoli, beberapa waktu lalu. Ia berharap impor kayu dari Kanada itu akan menekan pemburuan kayu lokal, baik di Nias maupun di wilayah lain Indonesia. (mega christina)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Rekonstruksi Sekolah Nias

Source: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/17/sh07.html

Laporan dari Nias (3)
Tinggal dan Sekolah di Tenda Berjamur

NIAS - Keterbelakangan dan keterpurukan warga Nias kian lengkap pasca tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005. Infrastruktur payah, pendapatan kian rendah, harga melambung tak terjangkau, bahkan rumah pun tak punya. Hingga pertengahan 2006, masih 352 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di tenda-tenda, 249 KK di antaranya di Nias Selatan. Sampai-sampai tendanya sudah bulukan alias berjamur menghitam. Belum lagi curah hujan yang relatif tinggi di Nias, membuat tenda-tenda itu kian lembab berjamur dan mengancam kesehatan penghuninya. Sebagai terobosan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nias dengan bantuan dari International Federation Red Cross & Red Crescent (IRRC) membangun rumah sementara dari papan. Dari stok 2.000 rumah kayu yang bisa dipasang sistem knock-down, saat ini telah berdiri 400-an rumah. Di samping itu BRR menargetkan sekitar 7.000 rumah permanen terbangun seluruhnya pada 2007.“Puncak pembangunan September-Oktober ini, tapi harga kayu sudah empat kali lipat, bayaran tukang sudah naik dua kali lipat,” kata Manajer Khusus Pengungsi dan Urusan Percepatan Perwakilan BRR Nias, Yunus Situmorang. Kalau urusan rumah sudah mulai tertangani dan segera akan mencapai puncak rekonstruksi, tidak demikian halnya dengan fasilitas pendidikan. Padahal 90 persen (732) gedung sekolah di kepulauan ini rusak akibat gempa. Dari anggaran tahun 2005, BRR hanya mampu merehabilitasi 52 sekolah dan merekonstruksi 98 sekolah. Sampai-sampai Kepala Perwakilan BRR Nias, William Sabandar, mengancam akan mencopot Kepala Satuan Kerja (Satker) Pendidikan. “Bayangkan dari 55 paket yang ditenderkan, hanya lima paket yang berhasil. Ini sebuah prestasi yang buruk,” tegas Willliam sebagaimana dikutip Buletin Fatuhe. Tak pelak anak-anak Nias harus bersekolah di bawah tenda yang sudah bulukan. Padahal William mengakui rendahnya tingkat pendidikan di sini. Rata-rata penduduk hanya berpendidikan kelas enam Sekolah Dasar (SD), bandingkan dengan Medan yang rata-rata pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tokoh masyarakat Nias, Waspada Wau mengakui ada falsafah salah yang dianut penduduk Nias agar anak tidak melebihi orangtuanya. Selain itu ia memandang orang Nias belum tuntas dalam bernegara. “Ibarat orang mau beli sepeda dengan menjual balok (kayu) ke pasar. Begitu melihat ada pajak sepeda, maka ia tetap jual baloknya tapi batal beli sepeda. Itu urusan sepeda, apalagi sekolah yang tidak terlihat hasilnya secara fisik,” jelas Waspada Wau kepada SH. Terkerdilkan AcehTerlepas dari berbagai hambatan, dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi bagi Nias tergolong kecil. Dari anggaran tahun 2005, Perwakilan BRR Nias hanya mendapat alokasi Rp 430 miliar (sekitar 10 persen) dari total dana rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias. Tahun 2006 ini sedikit meningkat menjadi 11 persen dengan anggaran Rp 1,1 triliun. Sementara dana dari donor internasional malah lebih kecil lagi. William Sabandar menyebut donor internasional hanya menyumbang kurang dari empat persen untuk rehabiltasi dan rekonstruksi Nias. Data per Mei 2006 BRR menyebutkan ada komitmen dana Rp 920,4 miliar dari 59 LSM yang bekerja di Nias. Dari jumlah itu baru Rp 332,9 miliar (36 persen) yang terealisir, sementara yang Rp 587,5 miliar (64 persen) masih berupa janji. “Padahal kalau melihat kerusakan di Nias sekitar 15 persen, idealnya Nias membutuhkan Rp 10 triliun dalam empat tahun untuk membangun kembali agar jadi lebih baik. Jadi dana ini jauh dari cukup,” keluh William. Koordinator LSM Lazarus-Hilfswerk in Deutschland e.V, Gert W Widmann, mengakui Nias “terkerdilkan” oleh Aceh. Menurut dia, ini karena belum pernah dalam sejarah di negaranya orang melihat gelombang besar tsunami menyapu bersih seperti di Aceh, sehingga perhatian ke Aceh lebih besar. Ia juga menyoroti peran media yang lebih mengekspos Aceh, dibanding Nias yang memang terisolir dan sulit dijangkau. Tak pelak lagi, Nias yang sudah terbelakang bakal kian tertinggal.(mega christina)

Copyright © Sinar Harapan 2003